Variability is the law of life, and as no two faces are the same, so no two bodies are alike, and no two individuals react alike and behave alike under the abnormal conditions which we know as disease.
William Osler
William Osler
Kedokteran berbasiskan data
Mahasiswa kedokteran seringkali beranggapan bahwa pengambilan keputusan klinis adalah suatu proses intuitif, di mana alurnya adalah pasien mengajukan keluhan, dokter melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik lengkap kemudian secara tiba-tiba diagnosis dibuat. Pada kenyataannya, pengambilan keputusan merupakan hasil latihan dari penalaran klinis, di mana dokter secara terlatih mengaplikasikan prinsip-prinsip epidemiologi, statistik dan probabilitas untuk mencapai pada suatu diagnosis tertentu.
Untuk setiap gejala terdapat berbagai macam diagnosis diferensial, mulai dari penyakit-penyakit umum sampai pada yang langka. Faktor-faktor epidemiologis seperti usia dan jenis kelamin sangat mempengaruhi kemungkinan ditegakkannya diagnosis tertentu. Sebagai contoh, kemungkinan migrain sebagai penyebab sakit kepala onset dini pada wanita berusia 25 tahun lebih besar dibandingkan dengan pria berusia 65 tahun dengan gejala yang sama. Berawal dari titik ini, kita mulai menyusun berbagai diagnosa diferensial dengan kemungkinan dan kegawatan yang beragam. Seorang klinisi yang berpengalaman akan mulai menggunakan setiap potongan informasi epidemiologi dan klinis yang ia dapat ia peroleh, untuk menyempitkan kemungkinan-kemungkinan diagnosis lainnya. Proses ini dapat dianalogikan seperti sebuah corong. Pada saat awal banyak hal dipertimbangkan, namun seiring dengan kemajuan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka juga akan menyempitkan kemungkinan diagnosa yang tersisa.
Pertanyaan dan pemeriksaan fisik yang fokus akan membantu mengkarakteristikkan keluhan pasien dengan lebih baik, ada atau tidaknya tanda-tanda klinis tertentu akan membuat beberapa diagnosa lebih atau lebih tidak mungkin. Pada keadaan ini, anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat dianalogikan dengan pemeriksaan diagnostik. Kembali ke contoh kita, adanya fotofobia, nyeri kepala berdenyut dan mual akan semakin mempertinggi kemungkinan diagnosa migrain. Sebaliknya, durasi sakit kepala lebih dari tiga hari akan membuat migrain semakin tidak mungkin.
Pada saat melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, klinisi harus mengintegrasikan pengatahuan mengenai prevalensi penyakit (epidemiologi) dengan sensitivitas dan spesifisitas dari informasi klinis yang didapatkan, untuk menentukan kemungkinan ditegakkannya suatu diagnosa.
Probabilitas dan ketidakpastian
Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketidakpastian, bahkan klinisi terbesar sepanjang masa Sir William Osler-pun melihat, bahwa variabilitas atau dengan kata lain ketidakpastian adalah keniscayaan. Informasi klinis tidak dapat menegakkan atau menyingkirkan suatu penyakit dengan kepastian mutlak. Serupa dengan informasi klinis, pemeriksaan diagnostik pun hanya mampu memberikan asumsi akan kemungkinan suatu diagnosis tanpa mampu memberikan kepastian bahwa pasien menderita penyakit tertentu. Suatu pendekatan yang lebih realistik, adalah dengan berpikir menggunakan istilah “probabilitas” suatu penyakit. Probabilitas dapat digambarkan dengan istilah matematika sebagai suatu spektrum 0 sampai 1, di mana 1 menggambarkan kepastian mutlak adanya penyakit tertentu dan 0 kepastian mutlak yang sebaliknya.
Pendekatan probabilistik ini terlebih lagi penting untuk penyakit-penyakit yang tidak memiliki pemeriksaan “baku emas”. Pada keadaan-keadaan ini, keyakinan diagnosa hanya didasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik. Migrain dan beberapa kasus demam merupakan salah satu contoh dari keadaan ini. Khusus untuk migrain, pemeriksaan fisik pada penderita migrain adalah normal, dan migrain sendiri merupakan suatu diagnosa klinis.
Setiap potongan informasi klinis baru mempunyai potensi untuk merubag probabilitas suatu penyakit. Penginterpretasian secara tepat bagaimana informasi klinis memperngaruhi probabilitas penyakit adalah dasar dari pengambilan keputusan klinis.
Prevalensi dan probabilitas pre-test
Untuk suatu keluhan terdapat berbagai kemungkinan penjelasan atau diagnosis. Beberapa penyakit adalah penyakit yang sering diketemukan, sedangkan beberapa penyakit lainnya lebih jarang. Sebelum anda melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka kemungkinan dari suatu diagnosis ditentukan oleh prevalensinya di masyarakat. Prevalensi penyakit seringkali digunakan secara bergantian dengan probabilitas pre-test.
Sayangnya, perkiraan prevalensi penyakit yang dilakukan oleh seorang individual seringkali menjadi sumber kesalahan diagnosis. Hal ini disebabkan oleh karena kecilnya jumlah sampel yang diperoleh oleh seorang klinisi, sehingga ia dapat saja meremehkan atau sebaliknya melebih-lebihkan prevalensi suatu penyakit dibandingkan dengan penyakit yang lainnya. Pengintegrasian data prevalensi yang diperoleh dari penelitian klinis bersampel besar dengan pengalaman pribadi , akan membantu untuk meminimalisir kesalahan yang dibuat dalam menentukan probabilitas pre-test suatu penyakit.
Kembali ke contoh, kita menggunakan sumber literature untuk menyediakan data dalam pengambilan keputusan klinis. Di antara wanita muda berusia 25 tahun pada populasi umum, prevalensi (probabilitas pre-test) dari migrain adalah 18%, sedangkan prevalensi migrain pada pria berusia 65 tahun hanya 7%. Oleh karena itu, kemungkinan diagnosis migrain dengan hanya berdasarkan informasi usia dan jenis kelamin sudah meningkat menjadi 2,5 kali lebih besar pada pasien pertama.
Sensitivitas dan spesifisitas
Hubungan antara suatu temuan klinis dengan suatu penyakit tertentu dapat digambarkan dengan tabel 2x2 seperti di bawah ini. Dengan menggunakan paradigma tersebut, maka ada 4 macam kemungkinan diagnostik atau hasil akhir :
Adanya temuan klinis dikaitkan dengan pasien yang memiliki penyakit (Positif Sejati).
Adanya temuan klinis dikaitkan dengan pasien yang tidak memiliki penyakit (Positif Palsu).
Tiadanya temuan klinis dikaitkan dengan pasien yang memiliki penyakit (Negatif Palsu).
Tiadanya temuan klinis dikaitkan dengan pasien yang tidak memiliki penyakit (Negatif Sejati).
Penyakit Ada
|
Penyakit Tidak Ada
| |
Temuan Klinis Ada
|
Positif Sejati (PS)
|
Positif Palsu (PP)
|
Temuan Klinis Tidak Ada
|
Negatif Palsu (NP)
|
Negatif Sejati (NS)
|
Temuan klinis dengan sensitivitas tinggi sangat berguna untuk menyingkirkan suatu diagnosis. Seiring dengan peningkatan sensitivitas, maka angka negatif palsu juga akan semakin berkurang. Dengan angka negatif palsu yang sangat rendah maka hampir semua orang yang menderita penyakit akan mempunyai temuan klinis tersebut. Apabila suatu tes yang mempunyai sensitivitas tinggi hasilnya negatif, maka dapat disimpulkan penyakit tersebut sangat rendah kemungkinannya.
Sebaliknya, temuan klinis dengan spesifisitas yang tinggi sangat berguna untuk menegakkan suatu diagnosa. Apabila spesifisitas meningkat,maka jumlah positif palsu akan menurun. Dengan rendahnya jumlah positif palsu, maka temuan klinis tersebut hanya akan ditemui pada orang-orang dengan penyakit. Apabila suatu test yang sangat spesifik hasilnya positif, maka penyakit tersebut mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk ada.
Sebagai contoh, ada beberapa contoh literature mengenai frekuensi dari beberapa gejala klinis migrain dan tension headache, 2 tipe sakit kepala primer yang paling banyak diketemukan. Pada suatu penelitian sistematis berskala besar, adanya nausea dikaitkan dengan sensitivitas 81% dan spesifisitas 96% untuk migrain. Spesifisitas yang tinggi mengindikasikan bahwa adanya nausea cenderung untuk menegakkan diagnosa migrain. Sakit kepala unilateral, sebaliknya, hanya memiliki sensitivitas 66% dan spesifisitas 78% untuk migrain.
Nilai prediktif (predictive value)
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan faktor yang independen terhadap prevalensi penyakit, dan tetap konstan walaupun diterapkan pada populasi yang berbeda. Nilai prediktif menggambarkan performa suatu test atau temuan klinis pada suatu populasi dengan prevalensi khusus. Nilai prediksi positif (NPP) adalah proporsi orang dengan temuan klinis yang mempunyai penyakit (PS dibagi dengan PS+PP). Nilai prediksi negatif (NPN) adalah proporsi dari orang tanpa temuan klinis yang tidak memiliki penyakit (NS dibagi dengan NS+NP).
Tanpa memperdulikan sensitivitas dari temuan klinis, seiring dengan semakin langkanya suatu penyakit, maka suatu temuan klinis akan semakin tidak mungkin untuk mengindikasikan adanya penyakit tersebut (NPP rendah). Sebaliknya apabila suatu penyakit menjadi lebih sering, maka tiadanya temuan klinis menjadi semakin tidak mungkin untuk menyingkirkan penyakit tersebut (NPN rendah).
Probabilitas post-test
Probabilitas post-test adalah probabilitas baru penyakit setelah ada atau tidaknya suatu temuan klinis tertentu (atau pemeriksaan diagnostik). Seorang klinisi mungkin dapat saja menganggap bahwa adanya temuan klinis dengan senstivitas dan spesifisitas tinggi akan secara alami menghasilkan probabilitas post-test yang tinggi pula, sayangnya asumsi ini tidak selalu benar. Gambar 1-1 akan menunjukkan efek dari probabilitas pre-test terhadap probabilitas post-test untuk temuan klinis dengan sensitivitas dan spesifisitas 90%.
Pada saat probabilitas pre-test suatu penyakit rendah, maka hasilnya akan tetap rendah walaupun dengan hasil test yang positif (gambar 1-1A). Sedangkan untuk suatu probabilitas prestest yang intermediate, apabila didukung dengan adanya temuan klinis (atau hasil test) yang positif, maka akan mempengaruhi probabilitas post-test secara luar biasa (gambar 1-1B). Pengertian akan dampak probabilitas pre-test sangatlah penting untuk dapat secara akurat menginterpretasi informasi klinis.
Rasio kemungkinan (Likelihood Ratio)
Rasio kemungkinan (RK) adalah salah satu cara lain untuk mengekspresikan akurasi diagnosis dari suatu temuan klinis ataupun tes. RK dari temuan klinis apapun adalah sebagai berikut :
RK dihitung dari sensitivitas dan spesifisitas suatu temuan klinis. Penghitungan RK memungkinkan untuk memperbandingkan akurasi diagnostik dari 2 atau lebih temuan klinis dengan sensitivitas dan spesifisitas berbeda. Oleh karena RK tidak dipengaruhi oleh prevalensi penyakit, maka mereka dapat diaplikasikan pada populasi pasien yang beragam.
Untuk setiap temuan klinis, terdapat RK positif (RK+) dan RK negatif (RK-). Rasio kemungkinan positif (RK+) adalah probabilitas suatu penyakit pada saat temuan klinis didapatkan, dan RK- adalah probabilitas suatu penyakit apabila temuan klinis tidak ada:
Nilai RK lebih besar dari 1 meningkatkan probabilitas penyakit, semakin tinggi angkanya maka semakin tinggi pula probabilitas penyakit tersebut. Nilai RK kurang dari 1 menurunkan probabilitas terjadinya penyakit, semakin kecil angkanya maka semakin kecil probabilitas penyakit tersebut.
Rasio Kemungkinan
|
Perubahan probabilitas
|
Efek pada kemungkinan penyakit
|
10
|
45%
|
Besar
|
5
|
30%
|
Sedang
|
2
|
15%
|
Kecil
|
1
|
0
|
Tidak ada
|
0.5
|
-15%
|
Kecil
|
0.2
|
-30%
|
Sedang
|
0.1
|
-45%
|
Besar
|
Untuk kedua pasien kita yang datang dengan sakit kepala, RK untuk nausea sebagai tes diagnostik untuk migrain adalah sama untuk kedua pasien. Cara yang paling mudah untuk mempergunakan RK dalam menghitung probabilitas post-test adalah dengan menggunakan nomogram Teorema Bayes (gambar 1-2). Untuk wanita usia 25 tahun dengan keluhan sakit kepala, probabilitas pre-test dari migrain adalah 18%. Dengan mempergunakan nomogram, adanya nausea (RK+ = 20.2) meningkatkan probabilitas post-test menjadi 80%, sehingga secara umum menegakkan diagnosa dari migrain. Sejalan dengan ini, nausea juga meningkatkan probabilitas migrain pada pasien pria 65 tahun dari pre-test 8% menjadi 65%.
Contoh tersebut di atas memberikan gambaran mengenai langkah-langkah utama dalam penarikan kesimpulan klinis yang rasional. Pada saat mempertimbangkan pasien dengan suatu gejala tertentu (misalnya sakit kepala, demam dsb.) langkah pertama adalah menentukan prevalensi dari kemungkinan diagnosis pada populasi yang serupa dengan pasien anda. Kemudian tentukanlah dampak dari sebuah temuan klinis pada kemungkinan ditegakkan diagnosis tertentu dengan menghitung RK. Pada akhirnya, sadarilah bahwa meskipun terdapat asosiasi yang kuat antara suatu temuan klinis dengan penyakit tertentu, kemungkinan dari penyakit itu masih dipengaruhi secara kuat oleh probabilitas pre-test. Oleh karena itu, sakit kepala disertai dengan nausea pada wanita muda sangat mungkin disebabkan oleh migrain, sedangkan adanya nausea tidak memastikan diagnosis migrain pada seorang pria berusia 65 tahun sebab migrain jarang terjadi pada populasi ini.
Interpretasi hasil pemeriksaan : Menggunakan probabilitas pre-test dan rasio kemungkinan
Oleh karena tidak ada satu-pun pemeriksaan yang 100% akurat, maka sangatlah penting untuk mengetahui karakteristik dari pemeriksaan yang akan kita lakukan. Selain itu penting pula untuk mengetahui bagaimana cara untuk mengaplikasikan hasil pemeriksaan terhadap kondisi klinis masing-masing pasien. Sebagai contoh kita akan menggunakan pasien dengan nyeri dada. Pertimbangan diagnostik utama untuk sebagian besar pasien dan dokter mengenai nyeri dada adalah angina pektoris, yaitu nyeri iskemia miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi arteri koroner.
Membedakan angina pektoris dengan nyeri dada lainnya ditentukan oleh dua faktor penting : riwayat klinis dan pengertian bagaimana untuk menggunakan pemeriksaan obyektif. Dalam rangka untuk menegakkan diagnosis angina pektoris, dokter harus menentukan apakah nyeri tersebut memenuhi tiga kriteria untuk nyeri angina tipikal : (a) lokasi retrosternal, (b) dipresipitasikan oleh aktivitas, (c) mereda dalam hitungan menit oleh istirahat dan nitrogliserin. Setelah itu, dokter mulai mencari faktor resiko lain seperti usia, merokok, penyakit degeneratif dan lain sebagainya untuk menentukan probabilitas pre-test angina pektoris.
Setelah kita berhasil menentukan probabilitas pre-test berdasarkan kombinasi data statistik, epidemiologi penyakit dan pengalaman klinis, langkah berikutnya adalah menentukan apakah diperlukan pemeriksaan diagnostik lanjutan. Patut diketahui bahwa pemeriksaan diagnostik hanya disarankan untuk dilakukan apabila “tes pemeriksaan tersebut akan merubah probabilitas post-test cukup tinggi atau cukup rendah , sehingga hasil tersebut akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan klinis.” Sebagai contoh, seorang wanita usia 18 tahun dengan nyeri dada non-retrosternal dan tidak diredakan oleh istirahat atau nitrogliserin, mempunyai probabilitas pre-test yang sangat rendah untuk menderita penyakit jantung koroner (PJK) sehingga hasil positif pada tes treadmill sangat mungkin hanyalah hasil positif palsu. Hasil test apapun tidak akan mengubah manajemen kita terhadap pasien tersebut, sehingga pemeriksaan diagnostik tidak disarankan untuk dilakukan.
Sebaliknya, seorang pasien pria usia 69 tahun, dengan diabetes, merokok dan mempunyai riwayat angioplasti sebelum, yang datang dengan keluhan angina tipikal berulang mempunya probabilitas pre-test yang demikian tinggi nyeri dadanya disebabkan oleh karena iskemia miokardium. Seorang klinisi dapat saja berasumsi bahwa suatu test treadmill yang negatif sangat mungkin merupakan hasil negatif palsu, sehingga prosedur ini dapat dilewatkan untuk langsung menuju ke angiografi koroner dalam rangka meninjau keperluan angioplasti ulangan. Dari uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, tes diagnostik disarankan untuk pasien-pasien yang berada pada probabilitas pre-test menengah atau meragukan, sehingga hasil test yang negatif ataupun positif akan mempengaruhi keputusan klinis kita.
Apabila kita mengetahui sensitivitas dan spesifisitas test yang digunakan maka kita dapat mengukur rasio kemungkinan dari hasil positif test tersebut. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, probabilitas post-test dapat dihitung dengan mengalikan probabilitas pre-test dengan rasio kemungkinan, cara lainnya adalah dengan menggunakan nomogram.
Mengetahui karakteristik pemeriksaan yang akan kita gunakan dan bagaimana mengaplikasikannya ke pasien secara individual, merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai diagnosis yang tepat dan menghindari untuk terjatuh ke perangkap umum “tes positif = sakit” dan “tes negatif = tidak sakit”. Dengan kata lain, “test tidak menegakkan diagnosis, melainkan dokter, dengan cara mempertimbangkan hasil test secara kuantitatif dalam konteks penilaian klinis mereka.”
No comments:
Post a Comment